Tato bagi masyarakat Dayak merupakan bagian dari tradisi, religi,
status sosial seseorang dalam masyarakat, serta bisa pula sebagai bentuk
penghargaan suku terhadap kemampuan seseorang. Karena itu, tato tidak
bisa dibuat sembarangan. Ada aturan-aturan tertentu dalam pembuatan tato
atau parung, baik pilihan gambarnya, struktur sosial orang yang ditato
maupun penempatan tatonya. Bahkan yang membuat tato itupun bukan
sembarang orang.
Meski demikian, secara religi tato memiliki makna sama dalam masyarakat
Dayak, yakni sebagai “obor” dalam perjalanan seseorang dalam menuju alam
keabadian, setelah kematian. Karena itu, semakin banyak tato, “obor”
akan semakin terang dan jalan menuju alam keabadian semakin lapang.
Meski demikian, tetap saja pembuatan tato tidak bisa dibuat
sebanyak-banyaknya secara sembarangan, karena harus mematuhi
aturan-aturan adat.
Setiap subsuku Dayak memiliki aturan yang berbeda dalam pembuatan
tato. Bahkan ada pula subsuku Dayak yang tidak mengenal tradisi tato,
seperti masyarakat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan (subsuku Dayak
manyan). Bagi suku Dayak yang bermukim perbatasan Kalimantan
dan Serawak Malaysia, misalnya, tato di sekitar jari tangan menunjukkan
orang tersebut suku yang suka menolong seperti ahli pengobatan. Semakin
banyak tato di tangannya, menunjukkan orang itu semakin banyak menolong
dan semakin ahli dalam pengobatan.
Bagi masyarakat Dayak Kenyah dan Dayak Kayan di Kalimantan Timur,
banyaknya tato menggambarkan orang tersebut sudah sering mengembara.
Karena biasanya setiap perkampungan Dayak yang mentradisikan tato
memiliki jenis motif tatoo tersendiri bahkan memiliki penempatan tato
tersendiri di bagian tubuh mereka yang merupakan ciri khas suku mereka.
Sehingga bagi mereka banyaknya tato menandakan pemiliknya sudah
mengunjungi banyak kampung. Jangan bayangkan kampung tersebut hanya
berjarak beberapa kilometer. Di Kalimantan, jarak antarkampung bisa
ratusan bahkan ribuan kilometer dan harus ditempuh menggunakan perahu
menyusuri sungai lebih dari satu bulan. Karena itu, penghargaan pada
perantau diberikan dalam bentuk tato.
Tato bisa pula diberikan kepada bangsawan. Di kalangan masyarakat
Dayak Kenyah, motif yang lazim untuk kalangan bangsawan (paren) adalah
burung enggang (anggang) yakni burung endemik Kalimantan yang
dikeramatkan. Bagi mereka burung enggang merupakan rajanya segala burung
yang melambangkan sosok yang gagah perkasa, penuh wibawa, keagungan,
dan kejayaan. Sehingga tato motif jenis ini biasanya diperuntukan hanya
untuk orang-orang tertentu saja. Adapun bagi Dayak Iban, kepala suku
beserta keturunanya ditato dengan motif “dunia atas” atau sesuatu yang
hidup di angkasa. Selain motifnya terpilih, cara pengerjaan tato untuk
kaum bangsawan biasanya lebih halus dan detail dibandingkan tato untuk
golongan menengah (panyen).
Bagi subsuku lainnya, pemberian tato dikaitkan dengan tradisi
menganyau atau memenggal kepala musuh dalam suatu peperangan. Tradisi
ini sudah puluhan tahun tidak dilakukan lagi, namun dulunya semakin
banyak mengayau, motif tatonya pun semakin khas dan istimewa. Tato untuk
sang pemberani di medan perang ini, biasanya di tempatkan di pundak
kanan. Namun pada subsuku lainnya, ditempatkan di lengan kiri jika
keberaniannya “biasa” dan di lengan kanan jika keberanian dan
keperkasaannya di medan pertempuran sangat luar biasa.
Pemberian tato yang dikaitkan dengan mengayau ini, dulunya sebagai
bentuk penghargaan dan penghormatan suku kepada orang-orang yang perkasa
dan banyak berjasa.
Tato atau parung atau betik tidak hanya dilakukan bagi kaum
laki-laki, tetapi juga kaum perempuan. Untuk laki – laki, tato bisa
dibuat di bagian manapun pada tubuhnya, sedangkan pada perempuan
biasanya hanya pada kaki dan tangan. Jika pada laki-laki pemberian tato
dikaitkan dengan penghargaan atau penghormatan, pada perempuan pembuatan
tato lebih bermotif religius.
“Pembuatan tato pada tangan dan kaki dipercaya bisa terhindar dari
pengaruh roh -roh jahat atau selalu berada dalam lindungan Yang Maha
Kuasa. Pada subsuku tertentu, pembuatan tato juga terkait dengan harga
diri perempuan, sehingga dikenal dengan istilah “tedak kayaan”, yang
berarti perempuan tidak bertato dianggap lebih rendah derajatnya
dibanding dengan yang bertato. Meski demikian, pandangan seperti ini
hanya berlaku disebagian kecil subsuku Dayak.
Pada suku Dayak Kayan, ada tiga macam tato yang biasanya disandang
perempuan, antara lain tedak kassa, yakni meliputi seluruh kaki dan
dipakai setelah dewasa. Tedak usuu, tato yang dibuat pada seluruh tangan
dan tedak hapii. Sementara di suku Dayak Kenyah, pembuatan tato pada
perempuan dimulai pada umur 16 tahun atau setelah haid pertama. Untuk
pembuatan tato bagi perempuan, dilakukan dengan upacara adat disebuah
rumah khusus. Selama pembuatan tato, semua pria tidak boleh keluar
rumah. Selain itu seluruh keluarga juga diwajibkan menjalani berbagai
pantangan untuk menghindari bencana bagi wanita yang sedang ditato
maupun keluarganya.
Motif tato bagi perempuan lebih terbatas seperti gambar paku hitam
yang berada di sekitar ruas jari disebut song irang atau tunas bambu.
Adapun yang melintang dibelakan buku jari disebut ikor. tato di
pergelangan tangan bergambar wajah macan disebut silong lejau. Adapula
tato yang dibuat di bagian paha. Bagi perempuan Dayak memiliki tato
dibagian paha status sosialnya sangat tinggi dan biasanya dilengkapi
gelang di bagian bawah betis. Motif tato di bagian paha biasanya juga
menyerupai silong lejau. Perbedaanya dengan tato di bagian tangan, ada
garis melintang pada betis yang dinamakan nang klinge.
Tato sangat jarang ditemukan di bagian lutut. Meski demikian ada juga
tato di bagia lutut pada lelaki dan perempuan yang biasanya dibuat pada
bagian akhir pembuatan tato dibadan. Tato yang dibuat di atas lutut dan
melingkar hingga ke betis menyerupai ular, sebenarnya anjing jadi –
jadian atau disebut tuang buvong asu.
Baik tato pada lelaki atau perempuan, secara tradisional dibuat
menggunakan duri buah jeruk yang panjang dan lambat – laun kemudian
menggunakan beberapa buah jarum sekaligus. Yang tidak berubah adalah
bahan pembuatan tato yang biasanya menggunakan jelaga dari periuk yang
berwarna hitam.
“Karena itu, tato yang dibuat warna-warni, ada hijau kuning dan merah,
pastilah bukan tato tradisional yang mengandung makna filosofis yang
tinggi.
Tato warna-warni yang dibuat kalangan anak-anak muda saat ini hanyalah
tato hiasan yang tidak memiliki makna apa-apa. Gambar dan penempatan
dilakukan sembarangan dan asal-asalan. Tato seperti itu sama sekali
tidak memiliki nilai religius dan penghargaan, tetapi cuma sekedar untuk
keindahan, dan bahkan ada yang ingin dianggap sebagai jagoan.